Lorong Memori Lonthoir

Bagaimana rupa sebuah desa bersahaja di Banda Besar, Kepulauan Maluku, yang mengenalkan Pala bagi dunia, dan memantik kolonialisme berakar lama di Nusantara?

Dari kejauhan nampak sebuah dermaga sederhana dengan beberapa perahu tertambat di tiang-tiangnya. Air jernih hijau toska mengelilinginya. Terlihat beberapa warga duduk-duduk menikmati siang yang panas di tepi dermaga yang berhadapan langsung dengan Gunung Api Banda.

DSC_0198.jpg

Ketika perahu merapat di dermaga Desa Lonthoir, hati Beta (saya) rasanya sudah tak sabar. Ingin segera berlari dan menjelajahi pulau rempah tersebut. Begitu naik ke dermaga, tak lupa mengedarkan pandangan berkeliling terlebih dahulu. Pemandangan luar biasa dari sisi Gunung Api Banda tempat aliran lahar panas ketika meletus dulu tersaji tepat di depan dermaga ini.

DSC_0271.jpg

Negeri atau Desa Lonthoir adalah sebuah desa yang terletak di Pulau Banda Besar. Pulau Banda Besar adalah pulau terbesar yang ada di Kepulauan Banda. Bisa ditempuh selama 15 menit dari Pelabuhan Rakyat Neira. Desa Lonthoir termasuk di Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah.

DSC_0268.jpg

Puas menikmati Gunung Api Banda dari dermaga Desa Lonthoir, perjalanan dilanjutkan ke destinasi pertama dari rangkaian Spice Tour, yaitu Sumur Parigi atau Sumur Pusaka. Sumur Parigi di desa ini sehari-hari digunakan masyarakat sebagai sumber air bersih. Terletak di ketinggian 150 meter di atas permukaan laut dan mempunyai kedalaman sekitar 8 meter. Jarak sumur ini sekitar 20 menit ditempuh dengan jalan kaki dari dermaga.

DSC_0224.jpg

Untuk mencapai sumur ini kita harus melewati tangga yang lumayan tinggi dan di sebut sebagai Tangga Seribu yang dibangun sejak masa kependudukan Belanda di Banda. Sumur ini terletak di lereng pertengahan gunung, dan bukan di lokasi perkampungan desa. Masyarakat menganggap sumur ini mengandung unsur-unsur magis, diantaranya adalah membuat awet muda dan enteng jodoh. Karena itu mereka berpikiran untuk mengadakan suatu ritual, yang disebut cuci sumur atau Cuci Parigi. Ritual Cuci Parigi sendiri dilaksanakan sekali dalam sepuluh tahun. Kebetulan tahun 2018 ini memasuki tahun ke sepuluh dan Cuci Parigi akan dilaksanakan pada Bulan November mendatang.

Menurut cerita, jika air sumur ini mendadak kering, maka akan terjadi kejadian buruk. Atau lebih tepatnya sumur ini memberikan pertanda bahwa akan terjadi malapetaka besar, baik skala lokal maupun internasional. Sumur ini pernah kering beberapa kali diiringi dengan petaka besar. Pada tahun 1965 pernah kering dan bertepatan dengan meletusnya Gerakan 30S PKI, kemudian tahun 1988 Gunung Api Banda meletus. Selain itu, pada tahun 1999 air sumur tiba-tiba keruh dan airnya menjadi payau, setelah itu terjadilah peristiwa kerusuhan Maluku yang menelan banyak korban.

DSC_0222

Di tempat ini ada dua sumur yang letaknya berdampingan. Dasar sumur berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Satu sumur dikeramatkan dan satu sumur lagi seperti biasa digunakan warga setempat sehari-hari untuk sumber air minum. Meskipun musim kemarau, sumur tersebut tak pernah kering. Mereka yang meminum air dari sumur itu diyakini akan berumur panjang dan terhindar dari segala jenis penyakit.

Perjalanan dilanjutkan ke destinasi berikutnya, yaitu Benteng Hollandia. Ketika dalam perjalanan menuju Benteng Hollandia, kami melewati perkebunan pala terbesar di Kepulauan Banda. Pala dari Kepulauan Banda buahnya memiliki kualitas nomor satu di dunia. Karena itulah bangsa asing ramai berdatangan ke Kepulauan Banda dan memperebutkannya. Selain Pala, Kepulauan Banda juga merupakan penghasil kayumanis dan juga kenari.

DSC_0235.jpg

Pusatnya pala Kepulauan Banda memang di pulau Banda Besar. Pala (Myristica fragrans) adalah tanaman asli Banda.  Bunganya yang dikeringkan disebut ‘fuli’.  Bunga ini membungkus daging buah pala di balik kulitnya yang kuning pucat seperti warna kulit buah duku.  Sejak dulu pala dan fuli banyak dimanfaatkan untuk rempah-rempah. Pala dan fuli inilah yang mengundang bangsa Eropa datang ke Indonesia lima ratus tahun yang lalu.

DSC_0011.jpg

Saat berjalan di perkampungan penduduk, hampir di setiap rumah terhampar pala, kayumanis, dan kenari yang sedang dijemur. Tak heran apabila aktivitas eksplorasi Desa Lonthoir ini disebut dengan Spice Tour karena memang desa ini penuh dengan rempah-rempah dan penghasil rempah-rempah dengan kualitas terbaik di dunia.

DSC_0208.jpg

Rempah-rempah adalah komoditas utama perdagangan dunia hingga tahun 1800-an. Dalam buku Batavia’s Graveyard dan keterangan Usman Talib ditegaskan, rempah-rempah menjadi bahan pengawet makanan, obat-obatan, hingga pemanas tubuh di kala musim dingin melanda Eropa.

Pala ketika itu hanya tumbuh di Kepulauan Banda, salah satunya ada di Desa Lonthoir, Banda Besar, Neira, Gunung Api, Rozengain, Ai, Neilaka, dan Run. Kepulauan Banda menjadi incaran bangsa-bangsa adidaya dunia ketika itu yang didominasi kekuatan maritim Spanyol dan Portugis.

Kala itu, perdagangan pala didominasi orang Melayu, Tionghoa, dan Arab. Jalur perdagangan membentang dari Banda ke Teluk Persia, lalu diangkut ke Laut Tengah untuk didistribusikan melalui Istanbul, Genoa, atau Venesia ke Eropa. Setiap kali berpindah tangan pedagang, harga naik minimal 100 persen. Konon, dengan hanya sekarung pala pun sudah bisa untuk membeli sebuah kastil mewah di Eropa.

Pala menjadi penyebab terjadinya perang. Orang Belanda memerangi penduduk Banda untuk menguasai pala. Orang Spanyol dan Inggris berperang dengan orang Belanda untuk merebut pasar pala. Peperangan itu memakan banyak korban.

Orang Belanda juga membunuh orang Inggris hanya untuk menguasai buah pala. Tentu saja, pembunuhan itu menyebabkan peperangan besar antara Inggris dan Belanda. Mereka sampai berperang di benua Amerika hanya untuk saling membalas dendam karena perebutan buah pala.

Ketika tiba di Benteng Hollandia, yang ada hanyalah sisa-sisa reruntuhan benteng yang hampir rata dengan tanah. Dari keseluruhan bangunan, yang tersisa hanyalah pintu benteng yang menghadap Gunung Api dan papan nama Hollandia. Dari depan Benteng Hollandia ini pemandangan Gunung Api sungguh indah. Letaknya yang berada di ketinggian, membuat kita bisa memandang perkampungan penduduk yang ada di bawah.

DSC_0241.jpg

Benteng Hollandia terletak pada ketinggian 100 meter di atas permukaan air laut. Menurut catatan sejarah diketahui tatkala Peter Vleck mengubah bekas benteng peninggalan Portugis itu pada tahun 1624 dan menamakannya Hollandia, pikirannya cuma satu yakni membangun benteng yang megah. Dari benteng ini pula, Belanda bisa melihat kapal-kapal lawan yang hilir mudik. Saat itu, dari benteng ini penguasa bisa mengawasi kerja para budak-budak mereka di kebun pala.

DSC_0267.jpg

Namun ketika Gunung Api memuntahkan lahar pada tahun 1743, maka seketika Benteng Hollandia luluh lantak sehingga nyaris rata dengan tanah. Francois van Boeckholtz, penguasa Belanda berikutnya datang ke Lonthoir. Dia memperbaiki Benteng Hollandia pada 1796. Namun perbaikan yang dilakukan selama bertahun-tahun tak banyak bermanfaat. Secara perlahan-lahan bangunan seluas 1.500 meter persegi itu pun mulai meredup dan hanya menyisakan puing kebesaran. Ketika kami datang, tanaman liar tumbuh lebat di luar dan di dalam benteng. Pohon pala tumbuh subur di depan benteng. Sisa-sisa kejayaan masa lalu itu kini hanya tinggal puing dan kenangan.

Terpengaruh oleh bahasa Belanda, kebun Pala di Banda disebut Perk. Sedangkan tuan tanah pengelolanya disebut Perkenier. Di Desa Lonthoir Pulau Banda Besar masih bisa kita temui satu rumah perkenier.  Sekarang rumah itu kosong.  Dipakai hanya untuk acara-acara desa.

DSC_0238.jpg

 

Note : Artikel ini dimuat di Xpress Air Inflight Magazine edisi September 2018 Rubrik Travel.

IMG_20180929_145833.jpg

Leave a comment