Merapung Syahdu di Danau Inle, Myanmar

Mingalabar!!!

Kata ini terucap dengan ramah dari setiap orang yang saya jumpai ketika sampai di Kota Yangon, Myanmar. Begitu pun saat saat berada di Inle.

Inle atau sering juga disebut Innlay merupakan sebuah danau yang terletak di Nyaungshwe Township, distrik Taunggyi Propinsi Shan dan merupakan wilayah dari area Shan Hills. Luas danau yang tenang  ini adalah sekitar 116.3 kilometer persegi. Danau Inle merupakan salah satu destinasi wisata yang menarik di Myanmar selain Yangon, Bagan, dan Mandalay.

Danau cantik dan tenang ini dihuni oleh Suku Intha. Suku Intha merupakan satu-satunya suku yang mendiami kawasan perairan Danau Inle. Suku ini tidak berbeda jauh dengan orang Myanmar pada umumnya. Mereka juga menggunakan Longyi dan memakai Thanaka di wajahnya. Rumah Suku Intha berdinding kayu dan bambu. Sedangkan alat transportasi yang digunakan di danau ini adalah sampan dayung dan sampan motor.

Sampan motor biasanya digunakan untuk transportasi umum mengantarkan wisatawan keliling Danau Inle. Di sampan itu diletakkan kursi kayu yang berjejer ke belakang sehingga penumpang akan merasa nyaman.

Sedangkan untuk sampan dayung, ada ciri khas unik di Danau Inle yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Suku Intha menggerakkan dayung sampan tidak dengan menggunakan tangan. Mereka menggerakkan dayung sampan menggunakan kaki. Para nelayan tersebut berdiri di ujung perahu, batang dayung dililitkan ke tungkai kaki mereka, dan dengan lincahnya mereka menggerakkan dayung di permukaan air. Agak sedikit seram juga ketika melihat mereka berdiri di ujung perahu itu.

DSC_0850.jpg

Alasan utama mengapa Suku Intha menggunakan kaki untuk menggerakkan dayung adalah dikarenakan perairan Danau Inle tertutup oleh rumput dan tanaman air lainnya. Sehingga untuk memudahkan mendayung supaya tidak tersangkut rumput-rumput air, mereka harus berdiri dan menggunakan tenaga kaki untuk mendayung. Konon, ini merupakan budaya turun temurun Suku Intha dalam keseharian mereka.

Salah satu keunikan lain dari Danau Inle adalah cara nelayan Inle bekerja menangkap ikan. Nelayan Inle ini memegang dayung dengan satu tangan kemudian tangan yang satu memegang bubu besar (alat penangkap ikan), sementara kaki yang satu menopang badan, kaki yang satunya diangkat untuk mencengkeram bubu agar terangkat.

Mata pencaharian utama dari masyarakat Suku Intha adalah bercocok tanam, maka dari itu, mereka pun mengembangkan ide bertanam yang unik, yaitu dengan membuat kebun terapung. Masyarakat Suku Intha membuat kebun ini dari rumput laut yang ada di dasar danau. Mereka membuat petak-petak lahan basah dari rumput-rumput tersebut dan disangga dengan batang bambu. Hasil bercocok tanam itu sebagian dikonsumsi sendiri dan sebagian lagi di jual di pasar.

DSC_0868.jpg

Saat kami tiba di Danau Inle waktu sudah agak siang, jadi harapan untuk melihat nelayan Inle beratraksi dengan latar belakang matahari terbit mulai memudar. Tetapi ternyata, masih ada beberapa nelayan yang belum kembali pulang meskipun agak gerimis. Mereka masih berada di danau. Dan alangkah bahagianya ketika para nelayan tersebut beratraksi di depan saya.

Selain kegiatan tersebut, hal lain dari Suku Intha yang menarik untuk dinikmati adalah kegiatan keagamaannya. Mayoritas penduduk Myanmar adalah pemeluk Budha yang taat, termasuk masyarakat di Inle. Oleh karena itu, tak heran jika di kawasan danau ini terdapat banyak pagoda.

DSC_0944.jpg

Salah satunya adalah Phaung Daw Oo Pagoda. Di Phaung Daw Oo Pagoda terdapat Budha Image. Kisah-kisah mengenai Budha yang dilukiskan dalam gambar. Selain itu terdapat juga taman merpati. Di tempat itu banyak terdapat merpati yang bisa kita beri makan. Seperti di semua pagoda yang ada di Myanmar, yaitu tidak diperbolehkannya mengenakan alas kaki apabila memasuki kawasan pagoda, maka di pagoda ini pun kita juga harus melepaskan alas kaki. Siang hari yang terik, panas terasa menyengat ketika kaki menginjak lantai halaman yang terbuat dari batu.

Selain pagoda-pagoda yang tersebar di sepanjang aliran Danau Inle, ada juga beberapa pusat kerajinan yang tersebar di kawasan perairan Inle. Misalnya saja kerajinan emas dan perak, tenun, baik itu tenun sutera dari tanaman teratai atau dikenal dengan lotus, tenun kapas, kerajinan bambu, seni ukir, pembuatan perahu, serta pelintingan rokok tradisional khas Inle.

DSC_0880.jpg

Hasil kerajinan tersebut akan di pasarkan di pasar tradisional Inle yang mengapung di atas air. Sebagian juga dijual ke luar wilayah Inle. Selain itu, mereka juga menjual hasil kerajinan tersebut di tempat dimana kerajinan tersebut dibuat. Jadi saat ada wisatawan mampir untuk melihat proses pembuatan kerajinan, maka mereka juga bisa membeli kerajinan langsung di tempat pembuatannya.

DSC_0932.jpg

Di Danau Inle kita juga bisa bertemu dengan Suku Kayan atau Suku Leher Panjang. Wanita-wanita dari suku Kayan ini memakai kalung kuningan di lehernya agar mendapat predikat cantik. Konon, semakin banyak kalung yang digunakan dan semakin panjang leher yang dimiliki, maka ia akan semakin cantik. Wanita-wanita Suku Kayan ini membuat kerajinan sutra dengan menggunakan alat tenun tradisional. Danau Inle menjadi satu-satunya pusat tenun di Myanmar. Kita bisa melihat bagaimana proses tenun di Myanmar dan membeli hasil tenun terbaik di sana.

DSC_0960.jpg

Destinasi yang akan membawa kita seolah berada di masa kuno adalah saat kita berada di Nyaung Oak Monastery. Di tempat ini banyak terdapat reruntuhan pagoda. Beberapa pagoda sedang dalam tahap renovasi. Dan di tempat ini juga terdapat sebuah pasar yang menjual berbagai souvenir. Pasar itu berada di sebuah reruntuhan yang masih menyisakan pilar-pilar raksasa yang masih tegak berdiri berjajar di sepanjang lorong. Entah bekas bangunan apa itu saya tidak tahu karena tidak ada guide yang memandu.

DSC_0930.jpg

Pagoda berikutnya yang kami kunjungi adalah Nga Phe Kyaung Monastery. Nga Phe Kyaung ini bisa dibilang adalah semacam pondok pesantren yang diperuntukkan untuk biksu-biksu di sana. Bangunannya berbentuk rumah panggung, terbuat dari kayu, dan berada di atas danau. Di sekelilingnya terdapat floating farm yang sangat luas. Di tempat ini juga terdapat banyak orang berjualan souvenir.

Untuk mendapatkan kemeriahan wisata di Inle Lake, cobalah berkunjung pada bulan September atau Oktober. Kita akan mendapatkan Inle sangat meriah dengan perayaan Phaung Da Woo Festival atau lebih dikenal sebagai kompetisi dayung Myanmar.

Untuk menuju ke Danau Inle tidaklah sulit. Apabila kita telah sampai di Yangon, kita bisa langsung menuju terminal bus Aung Mingalar. Dari Yangon kita bisa menggunakan bus menuju ke Inle dengan tarif yang ramah di kantong. Perjalanan akan di tempuh selama lebih kurang 12 jam. Pemandangan di kanan kiri jalan apabila sudah mendekati Danau Inle akan nampak menyerupai seperti di Danau Toba, Sumatera Utara. Sesampai di kawasan Inle kita harus membayar entrance fee sebesar $10 atau 12000 kyat. Setelah itu kita bisa menyewa perahu untuk berkeliling danau dengan tarif 10000 kyat untuk per orang.

NB. : Artikel ini dimuat pada Xpress Inflight Magazine Edisi Desember 2017 Rubrik Travel Mancanegara.

Xpress Inflight Magazine Dec. 2017.png

Leave a comment